All About Letto On WordPress

September 4, 2008

hari ini (04.09.2008) all about letto, sebuah blog yang mengulas tentang grup band asal jogja, LETTO, dapat dibaca melalui blog yang ada di WordPress.

posting asli artikel, foto dan video ada di blog dengan alamat di www.the-letto.blogspot.com

selain itu dapat dibaca di www.plettonic.multiply.com

terima kasih….


Mereka ini adalah sebuah band yang sangat konseptual. Dan mereka adalah Letto yang khas dengan lagu-lagu yang puitis, pop-romantis. Melalui A Mild Live Soundrenaline 2008 “free Your Voice”, Letto mengajak music maniacs Yogyakarta untuk bisa menghargai diri sendiri, dan bangga untuk menjadi diri sendiri.

“Walaupun kita kambing ataupun sapi, kita harus bisa dan mau mengakui diri sendiri,” ungkap Noe. Melalui atribut khas Jawa, memadukan musiknya dengan irama khas javanesse, Letto tidak bosan-bosannya untuk menyuarakan untuk juga bisa menghargai karya dalam negeri.

Ditanya soal obsesinya untuk mengikuti journey to Abbey Road, Letto menyatakan tidak begitu terobsesi, dan hanya menjadikan sara hiburan saja bila mereka bisa dikirim kesana. “Soundrenaline sebagai sarana ekspresi bukannya obsesi. Untuk ke London, hanya menjadi hiburan buat kita,” tutup Noe. Letto yang tampil menjelang sore mempertunjukan kebolehan gitaris dan bassistnya dalam mempermainkan dawai menjadi dinamika dan harmonisasi yang sangat kaya, seperti aransemen ulang “Sampai Nanti, Sampai Mati” yang membuka penampilan mereka hari ini

“Kami juga memakai tarian khas Bali, biar kita juga bisa menghargai diri kita yang lain,” lanjut Noey. Letto rupanya berhasil menghibur music maniacs yang hadir, sekaligus menyuarakan hal-hal yang positif. Setiap penonton merasa sejuk suasananya pada saat mendengarkan “Sebelum Cahaya”, dilatari oleh terbenamnya matahari di Prambanan

all about letto on www.the-letto.blogspot.com

Mau waras atau mau gila terserah. Yang penting jangan gampang dipengaruhi!

Itulah kata-kata spontan yang terucap dari mulut Noe di tengah-tengah aksi panggung Letto pada A Mild Live Soundrenaline 2008 Medan. Kata-kata ini merupakan lanjutan dari aksi provokatif Noe beberapa saat sebelumnya dengan kata-kata yang lebih pedas.Bahkan pada aksi tunggalnya ini Noe menyinggung-nyinggung soal partai-partai politik yang bejibun jumlahnya.

Tapi tentu saja Noe tidak bermaksud mengajak penonton untuk melakukan hal-hal yang negatif. Sebaliknya Noe hanya ingin menyadarkan penonton akan makna dari slogan Free Your Voice yang diusung A Mild Live soundrenaline 2008.

Kalau mau free your voice kalian harus free your mind dulu!“, begitu teriak Noe kepada ribuan music maniacs yang berkumpul di Lanud AU Polonia Medan.

Yang pasti penampilan Letto mengusung lagu-lagu hits sangat jauh dari unsur provokasi. Penampilan Letto pada sore hari itu cukup menghanyutkan. Lagu-lagu seperti Sampa Nanti Sampai Mati, Permintaan Hati, Ruang Rindu, serta Sebelum Cahaya malah sukses mengajak penonton untuk membuat koor massal. Nyaris tidak ada penonton yang tidak ikutan bernyanyi.

Kalau begini Letto memang benar-benar provokator di A Mild Live Soundrenaline kali ini. Buktinya penonton mau saja dipengaruhi mereka untuk ikutan bernyanyi. (DT)


Hari ini (10.06.08) Noe alias Sabrang, sang vokalis dan motor grup band Letto dari jogja tepat berusia 29 tahun, usia yang masih muda untuk berkarya dan mengabdikan idealismenya. Selamat ulang tahun buat Sabrang semoga tambah sukses bersama Letto, makin membumi, merakyat dan tidak melupakan apa yang telah menjadikan besar…

Berikut profil Noe Sabrang Mowo Damar Panuluh yang diambil dari sebuah media:

Sabrang Mowo Damar Panuluh atau lebih dikenal dengan nama Noe Letto, adalah penyanyi pentolan grup musik Letto. Pria kelahiran Yogyakarta, 10 Juni 1979 ini merupakan anak pertama budayawan, Emha Ainun Najib dari istri pertamanya, sebelum menikah dengan aktris dan penyanyi, Novia Kolopaking.

Kecintaanya pada musik diawali, saat dirinya diberi pamannya kaset berisi kumpulan lagu-lagu Queen. Saat itu dirinya masih SMP, yang akhirnya mempunyai pikiran untuk membuat musik yang sealiran dengan Queen. Mulailah Noe bersentuhan dengan sejumlah alat musik.

Lulus SMP, Noe kemudian kembali ke Yogyakarta dan meneruskan sekolah di SMU 7 Yogyakarta. Ia bergabung dengan komunitas ayahnya dan dipertemukan dengan dengan Ari, Dedy dan Patub di sekolah.

Pada 1998, Noe memutuskan untuk melanjutkan kuliah di University of Albertha, Kanada dengan mengambil dua jurusan matematika dan fisika. Setelah kembali ke tanah air dan bertemu kembali dengan kawan-kawan karibnya, Noe sering bermain musik di studio Kyai Kanjeng, group musik milik ayahnya.

Noe mulai menulis lirik lagu, yang akhirnya tertuang dalam album perdananya, Letto, Truth, Cry, and Lie. Disusul kemudian album kedua, Don’t Make Me Sad (2007).
source: kapanlagi.com

Schedule June 2008

June 7, 2008


01.06.2008: Show Pinrang, Sulawesi
03.06.2008: Dahsyat , RCTI,
05.06.2008: Charity Show , Jakarta
06.06.2008: Inbox, SCTV
07.06.2008: Opening Euro, RCTI
14.06.2008: Telkomsel, Palembang
15.06.2008: Idola Cilik, RCTI
16.06.2008: Monday Soundsation- Global TV
17.06.2008 – 18.06.2008: Syuting FTV , Jakarta
19.06.2008: Show Zona Cafe, Samarinda
21.06.2008: Show Madiun, Madiun
22.06.2008: Show WTC Serpong, Tangerang
23.06.2008 – 24.06.2008: Syuting FTV, Jakarta
25.06.2008: Idol Hifive, RCTI
26.06.2008: HUT Gudang Garam Jakarta

Rock & Goal Euro 2008

June 7, 2008


Malam ini (07.06.2008) jam 9 malam Letto akan meramaikan pembukaan siaran EURO 2008 di RCTI, selain Letto akan tampil pula Nidji, D’Massiv dan The Changcuters.

Acara ini live on air dari studio RCTI Kebonjeruk. Sebelumnya Letto juga pernah meramaikan acara EUROphoria beberapa waktu yang lalu.

Dan bagi pLettonic yang berminat dapat hadir di Studio RCTI sebelum jam 9 malam atau kalo gak sempet nonton aja siaran langsungnya di RCTI.

Setelah Open Ceremony ini akan dilangsungkan nonton bareng pertandingan pertama antara Ceko & Swiss mulai jam 1 dini hari.

Oleh: Noe Letto (Kompas, 18.05.08)

Salah satu produk populer di ”dunia gaul” dari 100 tahun kebangkitan bangsa kita adalah idiom ”Indonesia banget!”. Bahasa tubuh dan mimik yang mengungkapkan istilah itu mengungkapkan konotasi negatif.

Mungkin sekali saya salah, tetapi sering kali saya merasakan bahwa ”Indonesia banget” adalah kata ganti untuk semacam perilaku negatif, yang sehari-hari atau bahkan untuk kasus-kasus dalam skala yang lebih besar. Misalnya, buang sampah sembarangan, melanggar peraturan lalu lintas, merokok di no smoking area, tidur saat rapat atau sidang, koruptor tak terhukum, umbar janji pemilihan, bahkan pada kasus tertentu: ngiler bisa dikomentari ”Indonesia banget lu!”.

”Output” cinta

Sampai umur 29 tahun sekarang, tidak saya peroleh ”peluang menjadi pahlawan”, misalnya, dengan berjuang melawan Jepang atau Belanda. Tidak mengalami secara langsung Sumpah Pemuda, Kebangkitan Nasional, juga Proklamasi Kemerdekaan.

Ketika Reformasi terjadi, saya kesepian kuliah di Edmonton Kanada Utara tanpa seorang teman Indonesia pun. Bisa nama para menteri saja kurang dari 10 persen yang saya tahu. Tapi, saya yakin tidak ada satu pun para pendiri Indonesia yang menginginkan kata ”Indonesia” dilibatkan dalam idiom negatif ”Indonesia banget!”. Mereka pasti sedih kalau hidup cukup lama dan tahu hal ini.

Tapi, tolong jangan bilang saya tidak sedih, meskipun saya belum pernah menjadi ”aktivis nasionalisme” secara ”formal”. Juga jangan berani bilang saya tidak cinta Indonesia—meskipun, terus terang, memang saya menemukan masalah serius dalam hal ”mencintai Indonesia”.

Kalau mencintai seorang perempuan, sedikit mudah mencerna apa yang sebenarnya saya alami: suka bentuk tubuhnya, sikapnya, prinsipnya, kecerdasannya, hatinya, atau gabungan semuanya. Setelah mempelajari dan memperoleh kejelasan latar belakang orang yang saya cintai itu, akan saya tindak lanjuti dengan langkah berikutnya: mendapatkan cintanya, me-maintain cintanya, dan memastikan bahwa output dari semuanya adalah keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, kalau perlu, keluarga madani.

Itu semua frame yang relatif sederhana. Akan tetapi, cintaku kepada Indonesia itu jenis yang mana? Kalau tahap itu belum jelas, mau menindaklanjuti dengan cara bagaimana? Output bagaimana yang saya harapkan?

Bagaimana agar Indonesia bisa dicintai

Terkadang ada satu hal fundamental yang saya selalu pertanyakan: ”diri”-ku yang primer itu ”diri” yang mana? Diri ”Noe”, diri ”anak band”, diri ”penikmat fisika dan matematika”, diri ”Muslim”, dan banyak dimensi identitas lainnya. Bahkan mana yang lebih utama aku sebagai diri ”anak ibuku” atau diri ”anak ayahku”.

Untung itu bukan pertanyaan check-point seperti dalam ujian nasional. Itulah kekayaan dinamis proses kehidupan setiap orang. Dan kalau kita bicara Indonesia dengan kebangkitannya, langsung saja terasa yang paling nyata adalah bahwa diriku adalah bagian dari Indonesia. Dan cara berpikir yang saya pilih bukan bagaimana cara mencintai Indonesia, tapi bagaimana agar Indonesia bisa dicintai. Minimal oleh diri Indonesia sendiri. Di situlah wilayah kontribusi ”bagian dari Indonesia” kepada ”Indonesia”. Subyek utamanya, tujuannya, output-nya adalah ”Indonesia”, sedangkan si ”bagian dari Indonesia” hanya kontributor.

Seratus tahun yang lalu, 20 Mei 1908, yaitu tanggal berdirinya Budi Oetomo, dikenang sebagai tonggak kebangkitan nasional. Merefleksikannya ke zaman ini, pertanyaan pertama (dan cliché) adalah: setelah seratus tahun, apakah kita sudah benar-benar bangkit?

Saat itu, membaca dari buku sejarah, dua kata kunci yang memicu semangat kebangkitan bisa ditarik langsung dari dua kata kunci: eksploitasi dan diskriminasi. Waktu itu diskriminasi termanifestasi dengan adanya kesenjangan dengan obyek : pribumi-nonpribumi. Eksploitasi terutama terdefinisikan (secara kasuistik) dengan tindakan Pemerintah Hindia-Belanda yang menggunakan uang orang Indonesia untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya. Hal ini direspons oleh Ki Hadjar Dewantoro dengan artikelnya Als ik Nederlander was (seandainya saya orang Belanda), yang membawanya langsung ke penjara. Sebuah simbol perjuangan yang menebalkan polaritas dan membangkitkan semangat bersama.

Siklus alam dan lingkaran setan

Saat ini: untuk mengukur langsung tingkat kesuksesan semangat Kebangkitan Nasional, akan akurat jika mengukur dari dua kata kunci tersebut. Apakah di zaman sekarang masih ada yang namanya eksploitasi dan diskriminasi (negatif)?

Kita semua sadar pentingnya semangat kebangkitan, kita sadar kita ingin keluar dari stigma tersebut. Tapi, terlihat secara nyata dari pengalaman seratus tahun ini bahwa ada sebuah proses (bisa kita sebut lingkaran setan) dan dengan kedua ”setan” ini terpelihara dan justru terkembangbiakkan. Tidak hilang, tapi malah terlestarikan.

Contohnya dalam dunia pendidikan: ketidaksadaran akan pentingnya pendidikan (kesejahteraan guru, dana pendidikan tidak maksimal)—pendidik tidak mampu bekerja maksimal—murid terdidik dengan tidak maksimal—generasi/SDM lemah—ketidaksadaran akan pentingnya pendidikan, dan seterusnya. Diskriminasi terhadap hak pendidikan membawa degradasi generasi.

Kalau salah satu nilai yang dijunjung tinggi demokrasi adalah persamaan hak berkompetisi untuk setiap individu, padahal modal pendidikan (menjadi terdidik) adalah syarat utama untuk mampu berkompetisi tidak dapat terpenuhi (diskriminasi terjadi saat ada korelasi antara ”biaya pendidikan” dan ”kualitas pendidikan”), kita harus menyelesaikan persoalan ini dahulu sebelum berhak bicara banyak soal demokrasi.

Contoh lain dalam lalu lintas informasi: informasi tidak lengkap—salah persepsi—salah reaksi—salah sasaran—salah konklusi—disinformasi/informasi tidak lengkap. Eksploitasi disinformasi akan memperpanjang disinformasi, dan secara langsung memperpanjang kesempatan eksploitasi.

Beberapa generasi terlewati, tetap dalam lingkaran ini dan tetap tertunggangi oleh stigma-stigma ini. Yang kemudian melahirkan banyak masalah turunan yang begitu luas, akut, dan semakin sulit teridentifikasi akar masalahnya (apalagi pemecahannya). Belum ditambahi dengan budaya kita yang lebih suka menggariskan kebenaran dari norma dan bukan nilai.

Nyamuk dan generasi larva yang mandiri

Telur-larva-pupa-nyamuk-telur-larva. itulah lingkaran hidup nyamuk. Untuk memberantas nyamuk dibutuhkan cara yang efektif untuk memotong lingkaran hidup nyamuk ini sehingga lingkaran itu tidak bisa berputar secara komplet. Begitulah yang saya pelajari di SD.

Sepertinya tidak terlalu far fetched kalau kita mengadopsi cara berpikir yang sama. Dibutuhkan sebuah metode untuk memecahkan lingkaran setan ini. Masalah utamanya ternyata adalah ketidaksadaran posisi kita sebenarnya ada di mana. Mungkin sebenarnya kita sudah masuk di lingkaran tersebut. Mungkin lebih santun disebut: generasi saya, generasi muda. Sebentuk generasi larva yang terdesain sedemikian rupa untuk menjadi nyamuk di masa depannya.

Ketika beribu demo sudah dilakukan, ketika tenggorokan sudah kering berteriak tuntutan, ketika kita bingung sendiri kita baru saja menuntut apa, ketika sudah kehabisan orang yang dituntut untuk melakukan perubahan, ketika kita capai sendiri dan dengan sukarela memilih jadi salah satu dari yang dulu pernah kita benci. Sepertinya tidak ada pilihan lain: setelah larva adalah pupa dan jika berumur sedikit lebih panjang, kita akan menjadi nyamuk. Selesai.

Selesai?

Mungkin tidak kalau saja kita memulai sedikit berani. Kalau saja semua larva memutuskan untuk tidak mau menjadi bagian dari lingkaran hidup nyamuk. Kalau saja generasi larva ini beramai-ramai mendeklarasikan bahwa dirinya bukanlah larva dan tentu saja tidak menganut sifat-sifat ”kenyamukan”. Demo kali ini bukanlah berpawai ribuan orang dengan tuntutan-tuntutan yang diteriakkan. Demo yang ini adalah menyatakan jati diri dan sikap bahwa kita bukanlah larva. Kita adalah generasi baru dengan sikap dan pemikiran yang baru. Generasi ini menolak menjadi nyamuk, generasi ini generasi yang mandiri dan memilih menjadi garuda. Seharusnya dengan sikap dan pemikiran antitesis dari permasalahan selama ini.

Adalah dibutuhkan sebuah generasi mandiri (bukan hanya kontinuasi dari generasi sebelumnya) yang mau dan mampu mengubah dirinya sendiri, dan lepas dari lingkaran-lingkaran setan. Tak perlu menuntut nyamuk untuk berubah menjadi sapi. Tapi, kita pastikan kita tidak akan menjadi nyamuk, tapi menjadi generasi garuda yang sakti. Siapa tahu tahun 2008 sekarang ini adalah awal dari 100 tahun kedua dengan paradigma kebangkitan yang sudah berbeda dan tak kalah kreatif dari perintis 100 tahun pertama.

”Tidak mudah” itu pasti. ”Tidak mungkin” itu salah persepsi.

Deklarasi, petisi, hanya salah satu cara untuk memberi ”bendera” pada kebersamaan. Deklarasi menjadi mentah jika ia hanya menjadi simbol. Deklarasi akan menjadi sangat kuat bila ia menjadi ruh dari sebuah tekad yang ditanggungjawabi dalam bentuk sikap/tindakan secara bersama-sama. Tindakan adalah refleksi dari sikap. Sebelum ada tindakan semestinya datang dari pemikiran yang cermat, bersih dan obyektif. Sebuah pemikiran semestinya dilandasi sebuah nilai (tidak selalu norma) yang kita sepakati bersama sebagai sebuah kebenaran. Tanpa ada pernyataan nilai yang disepakati dan diusung bersama, ruh tindakan tidak akan hidup cukup panjang untuk membuat sebuah perubahan.

Noe Vokalis Kelompok Band Letto

Letto Events April 2008

April 9, 2008

02 04 2008: Saatnya Jadi Idola (live on air 13.00-15.00), RCTI, Jakarta
05 04 2008: Anniversary ILP ke – 30, Tennis Indoor Senayan, Jakarta
06 04 2008: Pestaphoria 2008 Probolingggo
08 04 2008: XL Pestaphoria 2008, Bima – Mataram
10 04 2008: Inbox SCTV Jakarta
11 04 2008: Show Medan
12 04 2008: Syuting Video Klip Gunung Putri Bogor
13 04 2008: Legu GAM 2008 Ternate
14 04 2008: Syuting Klip Chrisye -Jakarta
15 04 2008: AMI Award – Jakarta
17 04 2008: Special Music Trans 7 with Peterpan & D’Massive
18 04 2008: Greenfest, Parkir Timur Senayan, Jakarta
19 04 2008: Karnaval SCTV, Alun-Alun Utara, Jogja
20 04 2008: Hip Hip Hura SCTV, Alun-Alun Utara Jogja
23 04 2008: Dahsyat, RCTI Jakarta
24 04 2008: Special Program RCTI
25 04 2008: Bukan Rahasia, TV One Jakarta
26 04 2008: Ultah GMF & Launch Perumahan Airline City, Sport Mall Kelapa Gading, Jakarta
27 04 2008: Jalan Santai Radio Rama, Tegal Lega, Bandung
28 04 2008: Show Charity, Kebumen
29 04 2008: Show GOR UNY, Jogja
30 04 2008: Show Crown Café, Jakarta


Sumber: JAWApos

TRAWAS – Untuk kali pertama pLettonic (sebutan untuk fans grup band Letto) bertemu. Istimewanya, pertemuan yang dikemas dalam Meet and Greet pLettonic iu dilakukan di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman Trawas, Kabupaten Mojokerto.

Ampuh, manajer pelaksana kegiatan ini menyatakan, konsep kegiatan pertemuan fans Letto dengan grup band asal Jogjakarta ini justru datang dari pLettonic sendiri. Yakni, diprakarsai oleh Rumah Tongkrongan, yang menjadi base camp pLettonic asal Jakarta. “Ideanya muncul dari pLettonic sendiri, dan kita menyesuaikan saja,” jelas dia.

Diakui, Meet and Greet pLettonic ini sudah direncanakan sejak September 2007 lalu. Hanya, baru teralisasi Kamis-Jumat hari ini di Seloliman. “Kita tidak ingin kegiatan meet dan greet itu hanya bersifat bertemu dan happy-happy. Tapi, kita ingin agar pertemuan ini lebih bermakna,” kata pemuda asal Semarang ini.

Sebuah pertemuan, bagi pLettonic harus dibuat se-bermakna mungkin. Pertemuan tidak sekadar say hello, namun lebih dari itu, ada ucapan saling menyapa yang di situ ada pembauran warna yang dibawa masing-masing pLettonic serta band Letto sendiri. “Ibaratnya, saya berbaju merah, Anda berbaju biru, lalu ketemu dan terciptalah sesuatu yang baru. Warna ungu misalnya,” ujar Ampuh berfilosofi.

Demikian juga harapannya dalam ajang meet and greet kali ini. Dia berharap, dengan kegiatan yang berkonsep lingkungan, dan Letto membawa musik, maka akan tercipta sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. “Kami sih berharap ada saling menyapa, terjadi keharmonisan, kekompakan antar pLettonic dan syukur bisa menghasilkan sesuatu,” ujarnya.

Para peserta yang datang kemarin lebih dari 100 pLettonic. Mereka berasal dari Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta dan Jogjakarta. Sejak pagi kemarin mereka mengikuti beragam kegiatan outbond, mulai bermain kekompakan di lapangan hingga lomba memasak antar kelompok pLettonic.

Hiro, seorang mahasiswa UGM asal Jepang mengaku sangat tertarik mengikuti kegiatan ini. Tidak karena dirinya sebagai fans Letto, tetapi acara yang dikemas panitia sungguh menggugah selera. “Saya sendiri kaget, ternyata di Indonesia juga ada acara yang dikemas seperti ini. Saya baru tahu. Kalau di Jepang saya sudah pernah mengikuti,” ujar mahasiswa jurusan Sastra Indonesia UGM ini.

Sementara malam harinya, grup band Letto menyuguhkan beberapa komposisi dari album mereka secara aukistik di lapangan tengah PPLH Seloliman. (in/nk)


Mulai tanggal 19-21 maret 2008, management LETTO ngadain acara Meet & Greet Letto & pLettonic yang bertempat di PPLH Seloliman, Trawas, Jawa Timur. Selain keakraban antar pLettonic & Letto, juga kegiatan bertemakan lingkungan hidup serta diadain games dan apresiasi dan ekspresi seni Letto & pLettonic.

Peserta yang ikut terbatas dan harus mendaftar terlebih dahulu. Info selengkapnya dan formulir pendaftaran ada di: SINI